Dalam pandangannya, Kusumo menilai kasus LPPM fiktif yang terungkap di Sragen diduga melibatkan peran aktif kepala desa (kades) dan panitia penyaringan serta penjaringan perangkat desa.
“Kades dan ketua panitia diduga kuat telah bermanuver dalam pelolosan calon peserta dalam uji kompetensi, sehingga terjadi tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan wewenang,” kata Kusumo dalam keterangan tertulisnya, Minggu (18/5/2025).
Sebelumnya, ada empat desa yang diduga kuat bekerja sama dengan LPPM abal-abal dalam seleksi perangkat desa tersebut adalah Desa Jati Kecamatan Sumberlawang, Desa Klandungan Kecamatan Ngrampal, Desa Sambungmacan Kecamatan Sambungmacan dan Desa Gilirejo, Kecamatan Miri.
Kusumo membeberkan bahwa penggunaan LPPM fiktif dalam uji kompetensi perangkat desa di Sragen telah memunculkan SK pengangkatan perangkat desa yang diloloskan secara tidak sah. Para perangkat yang menerima SK tersebut juga telah memperoleh gaji yang bersumber dari APBD.
“Oleh karena itu, SK yang telah dikeluarkan oleh kades harus dicabut. Perangkat desa yang menerima SK melalui cara yang tidak sah harus diberhentikan, kemudian seleksi ulang perlu segera dilakukan,” terang Kusumo.
Kusumo menjelaskan jika dalam tindak pidana korupsi, terdapat tiga unsur utama: pertama, keterlibatan dalam kejahatan; kedua, pemberian hadiah, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang, serta ketiga, kerugian negara. “Jika ketiga unsur ini terpenuhi, maka itu merupakan tindak pidana korupsi murni,” paparnya.
Lebih lanjut Kusumo menguraikan, jenis-jenis tindak pidana korupsi yang dapat menimbulkan kerugian negara antara lain suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, serta perbuatan curang.
Rekomendasi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Inspektorat Sragen harus menjadi dasar hukum yang kuat bagi para kepala desa untuk bertindak tegas.”Tiga poin rekomendasi dari Inspektorat bukan sekadar catatan administratif, tetapi merupakan perintah yang wajib dipatuhi. Kepala desa wajib meninjau ulang dan mencabut SK perangkat desa yang dihasilkan dari seleksi oleh LPPM ilegal tersebut,” papar Kusumo.
Lebih lanjut Kusumo menyebut keberadaan perangkat desa hasil seleksi lembaga abal-abal bukan hanya kesalahan prosedural, tetapi juga cacat hukum. Di balik itu, terdapat kerugian negara yang nyata.
“Gaji yang mereka terima selama ini merupakan bentuk kerugian negara karena pengangkatan mereka tidak sah. Maka secara hukum, keberadaan mereka tidak memiliki legitimasi,” urai Kusumo. Kusumo mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak. Ia menilai kasus ini menyangkut kredibilitas seluruh jenjang pemerintahan, mulai dari desa hingga kabupaten.
“Pihak berwenang harus berani bertindak. Jangan sampai kepercayaan masyarakat runtuh hanya karena pembiaran terhadap pelanggaran hukum. Ini menyangkut kepentingan rakyat, bukan sekadar urusan teknis,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Kusumo juga mengingatkan jika LHP Inspektorat memiliki tenggat waktu yang tegas, yaitu 60 hari sejak rekomendasi disampaikan. Semua hal yang tertuang dalam LHP tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh kepala desa.”Ini bukan hanya soal niat baik, tapi ada batas waktu yang jelas. Jika dalam 60 hari tidak ditindaklanjuti, maka itu bisa menjadi bentuk pembangkangan terhadap hukum dan pengabaian terhadap perintah resmi dari Pemerintah Kabupaten Sragen,” lanjutnya.
Kusumo pun menekankan pentingnya ketelitian dalam pelaksanaan seleksi perangkat desa ke depan. Verifikasi dan validasi terhadap LPPM sebagai mitra penyelenggara harus dilakukan secara ketat dan transparan.
“Jadikan ini sebagai peringatan keras bagi semua pihak. Jangan bermain-main dengan urusan publik. Seleksi perangkat desa adalah pondasi pelayanan masyarakat. Jika dari awal sudah cacat, maka kerusakan akan menjalar ke mana-mana, sekali lagi, advokat kenamaan itu mempertegas sikapnya bahwa LAPAAN RI bersama masyarakat akan mengawal secara serius tindak lanjut atas LHP Inspektorat tersebut,” tutupnya. (jen)