Surakarta – Di balik sederhananya bahan pangan lokal seperti singkong, tersimpan potensi besar yang bisa menginspirasi perubahan—terutama bagi pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal inilah yang mendorong SLB Negeri Surakarta bekerja sama dengan Iswara Food dalam menyelenggarakan pelatihan pengolahan makanan berbahan dasar singkong sebagai bagian dari implementasi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Pelatihan yang digelar pekan ini diikuti oleh para guru dan orang tua siswa dalam format Trainer of Trainer (ToT). Materi yang diberikan tidak hanya fokus pada cara membuat keripik daun singkong dan tepung mocaf (modified cassava flour), tetapi juga menanamkan semangat kemandirian dan pemanfaatan sumber daya lokal.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SLB Negeri Surakarta, Nurlaili Irmawati, M.Pd, menyampaikan bahwa kegiatan ini memiliki nilai lebih dari sekadar belajar memasak. “Kami ingin memperkenalkan pilihan makanan yang lebih sehat dan ramah untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Banyak dari mereka yang lebih sensitif terhadap gluten, dan tepung mocaf bisa jadi alternatif yang aman,” terangnya.
Ia juga menambahkan bahwa pelatihan ini diharapkan mampu mendorong orang tua untuk lebih kreatif dalam menyiapkan makanan di rumah. “Mocaf bisa diolah jadi aneka camilan yang disukai anak-anak. Harapannya, mereka bisa tetap makan enak tapi tetap sehat,” ujarnya.
Dewi, pemilik Iswara Food yang menjadi narasumber utama pelatihan, membagikan pengalamannya selama hampir dua dekade mengolah mocaf. Menurutnya, singkong adalah bahan lokal yang tak hanya murah dan mudah didapat, tetapi juga kaya manfaat. “Tepung mocaf cocok untuk penderita diabetes, aman untuk jantung, dan tentu saja, bebas gluten. Pembuatannya pun bisa dilakukan sendiri di rumah,” kata Dewi.
Tak hanya berhenti di pelatihan makanan, Iswara Food juga berencana menggelar kegiatan lanjutan berupa pelatihan pembuatan sabun ramah lingkungan yang akan dilaksanakan di Masjid Albasir dan terbuka bagi masyarakat umum.
Melalui kegiatan ini, SLB Negeri Surakarta dan Iswara Food tak hanya mengajarkan keterampilan baru, tapi juga mendorong perubahan pola pikir—bahwa pendidikan inklusif bisa dimulai dari dapur, dari kebiasaan sehari-hari, dan dari potensi lokal yang sering kali terlupakan.