Jagat media sosial dipenuhi sorotan warganet tentang dugaan korupsi 4 petinggi Pertamina di antaranya dengan cara mengoplos BBM dengan RON 90 atau Pertalite menjadi RON 92 atau Pertamax.
Bahkan, beberapa SPBU di beberapa kota ditemukan mengalami penurunan daya beli yang cukup signifikan. Tak hanya itu, masyarakat mulai berbondong-bondong beralih untuk membeli Bahan Bakar Minyak atau BBM melalui perusahaan swasta milik Inggris yaitu Shell dan Vivo, yang hanya tersedia di beberapa kota besar.
Banyak warganet menyesalkan laku curang yang sangat merugikan konsumen ini. Tentunya tudingan ini dibantah keras oleh Pertamina, yang menyatakan BBM yang dijual ke masyarakat sudah sesuai ketentuan pemerintah.
Masalah bensin oplosan ini pertama kali diungkap Kejaksaan Agung ketika mengumumkan hasil penyidikan dugaan korupsi di tubuh Pertamina. Menurut Kejagung, tersangka Riva Siahaan sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah.
Di Jakarta, masyarakat melaporkan 460 kasus Pertamax Oplosan kepada Lembaga Bantuan Hukum/LBH Jakarta, untuk membantu masyarakat mengusut kasus korupsi besar-besaraan tersebut. Dan di Kota Solo, ada Dr. BRM Kusumo Putro S.H., M.H, yang merupakan pemerhati politik, pendidikan, sosial, dan juga merupakan pengacara kondang Kota Solo, memberi kritikan pedas terkait kasus pidana tersebut.
“Sebagai pengguna BBM jenis Pertamax, saya sangat dirugikan atas dugaan korupsi yang terjadi di Pertamina. Perbuatan pengoplosan BBM ini membuktikan lemahnya pengawasan di internal sehingga tidak heran jika tersangkanya yang terbaru ada 9 orang, bahkan mungkin bisa lebih,” kata Kusumo saat ditemui di Sukoharjo, Jum’at (28/2/2025).
Menurutnya, BBM jenis Pertamax oplosan yang selama ini dijual telah merugikan jutaan konsumen di Indonesia, khususnya pembeli Pertamax di beberapa SPBU.
“Oleh karena itu, saya mendesak kepada pemerintah untuk melakukan revisi terkait hukuman bagi koruptor. Jangan seperti kasus korupsi di PT Timah yang semula dijatuhi vonis 6 tahun. Pengadilan harus tegas menjatuhkan hukuman berat, kalau tidak hukuman mati, ya minimal seumur hidup,” sebutnya. Jenis Pertamax oplosan yang selama ini dijual telah merugikan jutaan konsumen di Indonesia, khususnya pembeli Pertamax di SPBU-SPBU.
“Oleh karena itu, saya mendesak kepada pemerintah untuk melakukan revisi terkait hukuman bagi koruptor. Jangan seperti kasus korupsi di PT Timah yang semula dijatuhi vonis 6 tahun. Pengadilan harus tegas menjatuhkan hukuman berat, kalau tidak hukuman mati, ya minimal seumur hidup,” tuturnya.
Selain itu, Kusumo juga berharap agar para pelaku korupsi yang sudah dijatuhi vonis pidana, dimiskinkan melalui penyitaan asetnya jika terbukti diperoleh dari hasil korupsi.
“Ini tugas DPR RI bersama pemerintah untuk merevisi Undang-undangnya, atau merubah pasal-pasal hukuman bagi pelaku korupsi. Karena yang sekarang ini terlalu ringan. Mestinya, penjara selama 50 tahun atau hukuman mati bagi terpidana korupsi agar nantinya ada efek takut bagi yang lain,” tutupnya.