Solo – Nyadran melalui Wikipedia adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran merupakan tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran / Srawrrrrn adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Ketua Forum Budaya Mataram (FBM), BRM Dr. Kusumo Putro SH., MH., menegaskan pentingnya tradisi Sadranan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Menurutnya, Sadranan bukan hanya sekedar ritual tahunan, tetapi merupakan warisan budaya yang menghubungkan manusia dengan leluhur, alam, dan Tuhan.
Sadranan, yang biasa dilaksanakan pada bulan Ruwah (Sya’ban), adalah tradisi berziarah ke makam leluhur, mengirim doa, serta berbagi sedekah makanan kepada masyarakat. Kegiatan ini mencerminkan nilai kebersamaan dan penghormatan terhadap para pendahulu yang telah berjasa dalam kehidupan.
Makna Filosofi Sadranan
Menurut BRM Kusumo Putro, Sadranan bukan hanya sebuah ritual keagamaan, tetapi juga memiliki makna spiritual dan filosofis yang mendalam. Tradisi ini dipercaya dapat menjadi penolak bala, karena hubungan batin yang terus terjalin dengan para leluhur diyakini bisa membawa berkah dan perlindungan dalam kehidupan.
“Dengan menjalin kedekatan antara yang hidup dan yang telah tiada melalui doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia semakin menyadari pentingnya hubungan kerohanian,” ujar Kusumo.
Ia menambahkan bahwa melalui Sadranan, manusia belajar harmonisasi hubungan, baik dengan sesama manusia, alam, maupun Sang Pencipta.
Tradisi Sadranan di Keraton Surakarta
Sadranan sudah dikenal sejak ratusan tahun silam dan tetap dilestarikan hingga kini. Di Keraton Kasunanan Surakarta, setiap bulan Ruwah digelar hajad dalem Sadranan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Beberapa makam yang menjadi tempat pelaksanaan Sadranan oleh Keraton Surakarta berdasarkan serat-serat kuno antara lain:
- Kartasura, Kudus, Kadilangu, Demak, Girilaya, Girilayu, Makamhaji, Masjid Gedhe, Imogiri, dan banyak tempat lainnya.
Selain di lingkungan Keraton, masyarakat umum juga melaksanakan Sadranan di kampung-kampung dengan menggelar tahlil akbar, doa bersama, serta membagikan sedekah makanan seperti nasi wuduk, jajan pasar, kolak pisang, dan kue apem.
Makna Simbolis dalam Sadranan
BRM Kusumo Putro menjelaskan bahwa dalam tradisi Sadranan, sesaji memiliki makna simbolis:
- Bunga liman melambangkan lima tahap kehidupan manusia dari lahir hingga wafat.
- Kopi dan makanan kesukaan leluhur sebagai bentuk rasa cinta dan penghormatan dari anak cucu.
- Kolak pisang melambangkan kehidupan yang manis dan penuh berkah.
- Apem merupakan simbol berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.
- Sentir lampu minyak tanah melambangkan penerang jalan di akhirat.
BRM Kusumo Putro berharap tradisi Sadranan tetap dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur serta penguatan identitas budaya masyarakat Jawa. (jen)