Surakarta – Solo Safari, merupakan taman satwa program renovasi dari Taman Safari Jurug (TSTJ) yang berada di Kota Surakarta Jawa Tengah. Kawasan wisata edukasi satwa seluas 13,9 hektare di Surakarta, Jawa Tengah yang mengelola Taman Safari Indonesia 1 di Cisarua, Bogor, Jawa Barat dan Taman Safari Indonesia 2 di Prigen, Jawa Timur dan Bali Safari & Marine Park Seperti kedua Taman Safari sebelumnya itu, BSMP juga merupakan lembaga konservasi dan anggota dari Persatuan Kebun Binatang se-Indonesia
Namun, perbedaan harga tiket TSTJ dengan Solo Safari begitu signifikan. Mengenai tarif tiket masuk Solo Safari yang dinilai mahal tersebut, menelusuri melalui laman resmi Solo Safari tarif tiket masuk reguler Senin sampai Jumat, yakni Rp45.000 untuk anak-anak dan Rp55.000 untuk dewasa.
Tarif reguler Sabtu dan Minggu Rp60.000 untuk anak-anak dan Rp75.000 untuk dewasa. Sedangkan tarif premium Senin sampai Jumat Rp60.000 untuk anak-anak dan Rp90.000 untuk dewasa.
Tarif premium Sabtu sampai Minggu Rp80.000 untuk anak-anak dan Rp110.000 untuk orang dewasa. Anak-anak usia 2-6 tahun, tinggi badan maksimal 120 cm maupun anak usia di bawah 2 tahun dan tinggi badan tak sampai 80 cm gratis
Seperti disampaikan pengacara kondang Kota Solo, Dr. BRM Kusumo Putro S.H., M.H., yang juga pemerhati politik, sosial dan budaya, baru saja berkunjung Solo Safari dan mengemukakan pendapatnya Baginya, Solo Safari bukanlah tempat wisata yang ramah bagi kantong warga Solo yang berpenghasilan rata-rata masih standar Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK).
“Solo Safari ini kan di gadang-gadang oleh walikota sebelumnya (Gibran-Red) menjadi tempat wisata berstandar internasional melebihi Jatim Park, sehingga diprediksi jumlah pengunjungnya akan naik. Tapi kenyataannya warga Solo sendiri sulit menjangkau harga tiketnya,” kata Kusumo, Senin (10/2/2025)
Proyek revitalisasi TSTJ tersebut, menurut Kusumo di awal pembangunannya telah banyak mengorbankan ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sudah lama mengais rejeki dengan berjualan disana. Sekarang mereka tergusur tanpa ada kejelasan nasib dan kelangsungan usahanya terhenti.
“Ada sekitar 120 lebih PKL yang semula ada disana. Mereka ini pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang sekarang nasibnya tidak jelas karena tidak ada kepastian apakah masih diperbolehkan berjualan di Solo Safari. Tapi kalau saya lihat, rasanya sulit, warga Solo seperti bukan marketnya, padahal lokasinya juga di Surakarta” ucapnya.
Dalam pandangan Kusumo, Solo Safari yang dibangun dalam tiga tahap dan tahun ini disebut akan memasuki tahap ketiga, tidak berdampak secara signifikan menaikkan tingkat kunjungan wisata di Kota Solo. Selain itu, juga tidak berdampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat sekitarnya.
“Seharusnya, dampak dari pembangunan Solo Safari itu tidak menyingkirkan pelaku usaha kecil atau PKL yang sudah berpuluh-puluh tahun menggantungkan hidupnya dengan berjualan disana. Mestinya mereka ditampung melalui penataan yang baik agar bisa kembali berjualan disitu,” ujarnya.
Kusumo mengaku mendengar langsung keluh kesah para para PKL dan UMKM eks TSTJ itu dari beberapa diantaranya yang datang menemuinya untuk mengungkapkan keluh kesah setelah terusir tidak boleh berjualan.
Selain itu, Kusumo juga berpendapat bahwa Solo Safari jika dibandingkan dengan Jatim Park, sangat jauh jika tolak ukurnya adalah koleksi hewan, tampilan sarana dan prasarananya. Digambarkan, bagaikan langit dan bumi perbedaannya.
“Di Jatim Park itu lebih lengkap koleksi hewannya, contohnya, di Solo Safari koleksi buayanya hanya satu jenis, sedangkan di Jatim Park ada beberapa jenis. Dengan lahan yang sangat luas, Solo Safari ini masih kelihatan kosong sehingga pengunjung hanya capek jalan-jalan saja,” tutupnya. (jen)